OPINI
Refleksi Runtuhnya Bangunan Pesantren Al Khoziny Sidoarjo
Oleh: Tulus Abadi*
Duka mendalam untuk musibah runtuhnya sebuah bangunan gedung di pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur. Puluhan siswa santri menjadi korban atas ambruknya gedung berlantai empat tersebut.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hingga Senin (6/10), atau sepekan setelah robohnya bangunan pesantren tersebut, korban tewas mencapai 50 orang, 13 santri diperkirakan masih terjebak di bawah reruntuhan. Sementara korban selamat tercatat sebanyak 104 orang.
Memang tidak salah kasus runtuhnya bangunan di pesantren ini dimaknai sebagai sebuah musibah, tapi jika merujuk pada pendekatan keteknikan dan regulasi, runtuhnya gedung di pesantren Al Khoziny tersebut merupakan bentuk keteledoran dan kecerobohan dalam membangun sebuah gedung.
Secara faktual keteknikan, gedung tersebut dibangun tanpa adanya kepatuhan teknis struktur konstruksi, apalagi untuk gedung publik. Kasus ini patut diduga dengan keras melanggar UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
Kasus runtuhnya gedung di pesantren tersebut harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak, terutama Kementerian Agama (Kemenag), Pemda setempat, pengelola pesantren, bahkan orang tua dan siswa santri.
Mengapa harus menjadi perhatian serius semua pihak? Sebab, menurut data Kementerian Pekerjaan Umum, di seluruh Indonesia, pesantren yang mengurus izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) hanya 50 pondok pesantren saja. Sementara, menurut data Kementerian Agama (Kemenag) saat ini terdapat 42.433 pesantren di seluruh Indonesia.
Alamak, sangat mengkhawatirkan, bahkan mengerikan. Dengan kata lain, ini harus menjadi kewaspadaan semua pihak, mengingat terdapat ancaman dan risiko tinggi yang mengancam keselamatan seluruh penghuni pesantren, khususnya siswa santri. Apalagi kondisi geologis dan geografis Indonesia yang berada di kawasan cincin api (ring of fire) yang setiap saat bisa terjadi gempa bumi. Jika tidak memenuhi standar, bangunan bisa saja ambruk akibat gempa bumi.
Presiden Prabowo Subianto, dalam rapat terbatas di kediamannya di Jalan Kertanegara, Jakarta, Minggu (5/10) malam, menginstruksikan langkah tegas untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap struktur dan kekuatan bangunan pondok pesantren di seluruh Indonesia.
Untuk memitigasi agar kasus di pesantren Al Khoziny tak terulang lagi, beberapa upaya perlu dilakukan oleh para pihak.
Pertama, mendorong Kemenag dan Pemda setempat agar semua pesantren segera mengurus izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) tersebut. Demikian juga para pengelola pesantren di seluruh Indonesia agar pro aktif melakukan pengurusan izin PBG, dan memenuhi semua prosedur teknis yang dimandatkan.
Pihak Pemda setempat juga harus memberikan kemudahan persyaratan dan birokrasi kepada pesantren yang ingin mengurus izin PBG tersebut. Jangan menerapkan aturan yang berbelit, apalagi ada pungutan yang tidak perlu (pungli).
Kedua, orang tua santri dan siswa santri juga musti melihat dengan cermat keandalan infrastruktur di sebuah pesantren, sebelum memasukkan anaknya untuk menimba ilmu.
Keandalan infrastruktur menjadi hal yang sangat vital, sebab menyangkut kenyamanan aktivitas belajar mengajar, kesehatan dan bahkan keselamatan siswa santri selama "nyantri" di suatu pesantren. Apalagi lazimnya karakter pesantren adalah boarding school atau sekolah berasrama sehingga para siswa santri menginap selama menimba ilmu di suatu pesantren.
Ketiga, Pemda setempat berkolaborasi dengan pengelola pesantren, harus segera melakukan audit teknis terhadap gedung-gedung di pesantren yang belum mempunyai izin PBG. Audit teknis bahkan mesti melibatkan pihak independen, misalnya profesi insinyur, arsitek, ahli planologi dan tata ruang, plus tokoh masyarakat. Ini semua urgen dilakukan guna menjamin keselamatan (aspek safety dan security) seluruh penghuni gedung pesantren: siswa santri, para guru, dan karyawan lainnya.
Keempat, pihak Pemda setempat harus lebih progresif dalam melakukan pengawasan terhadap bangunan publik, baik pada tahap pra pembangunan (perizinan), selama pembangunan, dan paska pembangunan. Semua proses itu harus diawasi secara ketat. Kasus runtuhnya bangunan di pesantren Al Khoziny boleh jadi merupakan kegagalan pihak pemda setempat dalam melakukan pengawasan di lapangan.
Dalam konteks regulasi, runtuhnya gedung di pesantren Al Khoziny tak bisa dianggap sebagai musibah semata. Sekali lagi ini berdimensi keteledoran/kecerobohan, dan dari sisi hukum pidana musti ada pihak yang bertanggung jawab, bahkan tanggung jawab itu bersifat tanggung renteng.
Rujukan regulasinya jelas, yakni Pasal 46 ayat 3, UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, yang menyebutkan: setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak 20 persen dari nilai bangunan gedung, jika karenanya mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain.
Mandat UU Bangunan Gedung sudah sangat jelas, dan dengan sanksi yang tegas pula. Semua pihak harus mengarusutamakan keselamatan publik, harus bertanggungjawab sesuai kewenangan dan kompetensinya masing-masing.
Jangan ada lagi gedung publik runtuh oleh adanya kegagalan bangunan/kegagalan struktrural, dan keteledoran dalam membangun sebuah gedung publik. Tidak selayaknya pula berdalih bahwa ini musibah, takdir, tetapi sejatinya adalah adanya keteledoran yang sistemik dan klimaksnya merenggut korban massal.
*) Pegiat Perlindungan Konsumen dan Pengamat Kebijakan Publik, Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia
Editor:
ADMIN
ADMIN